Sepak
bola masa kini tak hanya menjadi kesenangan seseorang lebih dari itu sepak bola
menjadi simbol harga diri. Ketika klub kebanggaan diusik dan dicemooh maka
nurani akan melawan dan menyerang balik lawan persis seperti mempertahankan
sebuah harga diri.
Sama
halnya di Indonesia ketika tim kebanggaanya diusik si suporter langsung
memburu lawan yg melakukan provokasi. jangan dikira intrik itu hanya ada saat
pertandingan berlangsung, yang terjadi gesekan tersebut akan berlanjut di luar
lapangan dengan cara adu kekuatan yang biasa disebut tawuran untuk membela apa
yang mereka yakini.
Saya
rasa hampir tidak ada lagi batas antara rasa fairplay dan kemenangan. Demi
harga sebuah kemenangan seakan pelaku sepakbola menutup mata apa yang terjadi
di lapangan. Kita tentu pernah melihat ketika tim tengah butuh gol mereka
melakukan apapun untuk mencetak gol meskipun pemain lawan tengah mengerang
kesakitan di lapangan bahkan ada yang mencetak gol dengan tangan dan mendorong
lawan. Lalu dimana kah suporter? Mereka diam menyiapkan setumpuk tesis untuk
melakukan pembelaan.
Fanatik boleh bodoh jangan.
Saya
pernah membaca bahwa fanatisme adalah hal yang naluriah akibat dari konsekuensi
logis dari kemajemukan sosial masyarakat. Saya juga memahami fanatisme lahir
dari perbedaan pandangan hidup dan ideologis yang dianut agar ideologi dan
pandangan hidup itu agar terus lestari dan berjaya di kehidupan sosial. Namun
sayangnya saya tidak mengerti alasan fanatisme menjadi alat untuk merasa
superior dihadapan pandangan hidup yang lain bahkan cenderung mengarah ke
mengolok dan diskriminatif.
Perilaku
merasa superior sangat terlihat di dunia maya para suporter fanatik sebuah
klub. Awalnya mungkin seorang suporter sedang membanggakan prestasi klub
favorit nya namun di dunia maya kamu tak akan selalu mendapat respon yang kamu
ingin. Setelah melihat postingan tersebut suporter rival yang 'kalah' tentu
tidak akan tinggal diam, mereka akan menyerang balik dengan menujukan prestasi
klub favorit sendiri. Ketika kedua kubu suporter merasa superior apa yang
terjadi? Bentrok ! Kalau kamu anggap pertentangan itu hanya adu gengsi prestasi
kamu salah besar. Mereka tak segan untuk mencaci maki, memfitnah bahkan
menghina fisik seseorang yang sudah tak ada hubungannya dengan sepak bola.
Suporter
Sepak bola dunia maya zaman sekarang malah saling mengumbar ujaran. kebencian
kepada rival abadinya ironisnya ujaran itu justru berawal dari fanbase yang
menjadi naungan informasi suporter. Kalau pusat informasi saja sudah
terindikasi kebencian maka tak perlu kaget jika makmum suporter akan sulit
terkontrol dan akan mengutuk sebuah kekalahan dari rival. Fanbase akan menjadi
lautan caci maki kawan sendiri yang tak bisa dicegah oleh si pengurus fanbase.
Seyogyanya
sepak bola harusnya menjadi sebuah contoh makna fairplay. Bahwasanya sefanatik
fanatiknya kamu terhadap sebuah klub mereka yang terlibat didalamnya juga
seorang manusia yang berjuang untuk memenuhi hasrat egosentrimu maka hargailah.
bukan fans 90 menit.
Minggu
sore tepatnya tanggal 15 Oktober 2017 awalnya baik-baik saja sebelum tragedi
yang menghenyakan itu terjadi. Di sebuah stadion sepak bola seorang legenda dan
pahlawan masyarakat lamongan beristirahat selamanya di rumahnya sendiri di
bawah tiang gawang Stadion Surajaya Lamongan.
Kemenangan
Persela sore itu dari Semen Padang FC seakan sia-sia setelah mendengar kabar
Choirul Huda pemain paling loyal di Persela Lamongan berpulang menemui tuhan.
Delapan belas tahun sudah Choirul huda menjaga gawang klub kebangaan masyarakat
lamongan. Loyalitasnya tak perlu diragukan lagi Choirul Huda layak mendapatkan
julukan "one man one klub" sehingga layak disejajarkan dengan legenda
dunia seperti Totti dan Maldini.
Berita
meninggalnya Choirul huda lantas menjadi viral di dunia maya. Tak hanya di
indonesia berita meninggalnya choirul huda akhirnya sampai ketelingga FIFA yang
mengucapkan turut berduka cita selain itu pesepakbola dunia juga menunjukan
respectnya kepada Choirul huda seperti Paul Pogba, Peter Cech dan Ter Andre Streger
yang menulis bela sungkawanya di media sosial masing masing.
Begitu
banyak kepedulian yang datang pada almarhum Choirul Huda namun seberapa respect
kah sepak bola kita terhadap Choirul huda? Saya tidak mengerti bagaimana bisa
seorang pesepakbola masih bisa bermain setelah beberapa jam mendengar rekan
seprofesinya meninggal di lapangan tempat dirinya bermain, itu lah yang saya
lihat ketika malam hari di hari yang sama 15 Oktober 2017 pertandingan antara
PSM Makasar VS Persib Bandung berlangsung tanpa mengheningkan cipta tanpa pita
hitam.
Sepak
bola bukan hanyalah 90 menit di atas lapangan lebih dari itu sepak bola
seharusnya menjadi cerminan kemanusiaan yang baik di lapangan maupun luar
lapangan. Saya masih teringat tentang kejadian suporter timnas yang terkena
petasan dari suporter timnas yang lain, saya juga masih mengingat jelas
meninggalnya Ricko Andrean suporter Persib Bandung yang ironisnya meregang nyawa
di tangan suporter persib sendiri usai dikeroyok dikira suporter Persija. Lalu
mau berapa korban lagi yang harus berjatuhan demi sebuah olahraga bernama sepak
bola? Masih pedulikan kita pada perangkat kesehatan para pemain maupun suporter
di stadion? Masih pedulikan kita kita tentang keselamatan nyawa suporter di
luar dan dalam stadion?. Pertanyaan itu seharusnya ditanyakan pada diri sendiri
bagian dari sepak bola. Mau bergantung pada organisasi sepakbola dan klub? Ah
mereka sama-sama sulit mengerti sepakbola mereka sendiri.
Saya
pernah mendengar sebuah pernyataan yang yang cukup membuat bergidik ketika
mendengarnya. "Jika sepak bola lebih mahal dari pada nyawa, maka kami
lebih memilih hidup tanpa sepak bola. " sebuah tribut dari pemain PSS
Sleman Tri Handoko untuk Stanislaus yang meninggal akibat bentrokan dengan
suporter lain. Pada akhirnya saya mengerti Kematian memang mengerikan, tetapi
olahraga yang mengorbankan kematian jauh lebih mengerikan.